Connie Rahakundini Bakrie: Tak Rela Diremehkan dalam Dunia Maskulin

Analis Pertahanan & Militer

 

 

Dunia pertahanan dan militer yang maskulin bukanlah bidang yang mudah digeluti oleh para perempuan di Tanah Air, khususnya untuk mereka yang bercita-cita menjadi pakar di bidangnya, seperti sang Analis Pertahanan dan Militer Connie Rahakundini Bakrie. “Seperti yang saya alami selama ini, seolah-olah ada stigma di masyarakat kita bahwa pertahanan keamanan dan militer adalah urusan kaum Adam bukan Hawa.

 

Di awal berkarier sebagai akademisi, terutama saat menjadi dosen di Sesko Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Sesko TNI, saya pun sering dipertanyakan mengenai keilmuannya di bidang ini,” papar dosen tamu di Sesko, TNI, AD, AU, AL, dan Lemhanas ini kepada Women’s Obsession. Itulah sebabnya, dia tidak rela jika diremehkan dan bertekad akan terus mengasah serta memperdalam ilmu dan eksis di dalam maupun luar negeri.

 

BACA JUGA:

Christine Hakim: Merangkai Jejak Mengukir Prestasi

Khofifah Indar Parawansa: Jatim Bangkit Terus Melaju

 

Tak Hanya ‘Diperhitungkan’ di Tanah Air

Rekam jejak Connie tercatat menekuni dunia pertahanan dengan kuliah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Lalu, melanjutkan pendidikan master di Asia Pasific Center for Security Studies (APCSS) Honolulu, Hawaii. Kemudian dia menimba ilmu di Fu Hsing Kang War College, Republic of China, Chevening Executive Programme Democracy and Security di Birmingham University, Inggris, dan IDEAS Leadership Programme MIT Boston, Amerika Serikat. Di luar itu, dia pernah menjadi senior research fellow di Institute of National Security Studies (INSS), Tel Aviv, Israel, lalu menyelesaikan program doktoralnya di bidang politik dan pertahanan di Universitas Indonesia. 

 

Dia sering memaparkan tentang pertahanan dan militer Indonesia di berbagai forum internasional. Misalnya, National Defense University dan The East West Centre di Washington DC, Amerika Serikat, Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Swiss, Washington DC, Global Security Meeting di Bratislava, Slovakia, maupun ajang ASEM-EU Regional Security Architecture Meetings, Centre for Security Policy (CCSP), Switzerland.

 

 

Connie juga aktif dalam kajian strategis pertahanan keamanan di Dewan Pertahanan Nasional, mewakili Indonesia di badan internasional SLOCs (Sea Lanes of Communications and Trade) dan duduk sebagai Board of Advisory di Indonesia Institute of Maritime Studies. Nama Connie tidak hanya diperhitungkan di Tanah Air, bahkan masuk dalam daftar pemimpin masa depan versi Massachusetts Institute of Technology (MIT), Boston, Amerika Serikat, mewakili generasi ketiga creme de la creme intelektual pertahanan keamanan Republik Indonesia.

 

Berani Berbicara Apa Adanya

Connie berpendapat perempuan Indonesia tak perlu ragu atau takut dalam memilih profesi yang dekat dengan dunia pria dan tidak hanya bisa menjadi seperti dirinya sebagai analisis pertahanan dan militer. “Saya senang sekali melihat anak didik saya tiba-tiba menjadi pilot helikopter perempuan pertama. Lalu, ada teman saya pekerjaannya membawa mobil pengangkut barang yang panjang sekali, sampai saya bingung bagaimana cara dia menyetirnya saat berada di tikungan atau belokan jalan. Saat ke Surabaya beberapa pimpinan sekolah pelayaran kapal pernah berkata kepada saya bahwa kapten kapal perempuan kita sudah bisa membawa kapal-kapal hebat. Jadi, sepanjang kita ada passion dan fokus menekuninya, pasti kita bisa meraih kesuksesan,” ujar perempuan kelahiran 3 November 1964 ini dengan nada bersemangat.

 

Berani mengeluarkan pendapat dan berbicara apa adanya telah menjadi ciri khas Connie. Dia berpendapat kebanyakan masyarakat di Indonesia sebenarnya berani mengemukakan pendapatnya, namun tidak disertai referensi atau pengetahuan yang mumpuni. “Apalagi, untuk seorang dosen atau akademisi sudah merupakan tugasnya memberikan informasi dan menyampaikan pendapat sebenar-benarnya berdasarkan fakta, data-data, literatur, referensi, dan pengetahuan yang luas. Jadi, dalam melihat permasalahan harus secara holistik. Saya juga banyak melihat orang-orang kampus lebih jago kandang, hanya berani berbicara di lingkungan kampus saja,” lanjutnya.

 

 

Berbicara mengenai geopolitik, Connie berpendapat siapa pun pemimpin bangsa ini harus memiliki wawasan luas soal kondisi di dalam dan luar negeri, serta paham isu geopolitik, balance of power, maupun perkembangan teknologi. Jadi, menurutnya, seorang presiden jangan hanya ahli dalam memenangkan Pilpres saat pemilu saja.

 

Namun, ketika berada di meja panggung dunia dia mampu membentuk sebuah gambaran geopolitik. Contohnya, Soekarno yang pada saat itu negara kita baru merdeka, dia sudah mempunyai keyakinan yang kuat kita adalah bangsa yang besar. Geopolitik Soekarno bertujuan untuk membangun kepemimpinan Indonesia bagi dunia dan dalam mewujudkannya memerlukan tradisi intelektual berupa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun diplomasi internasional.

 

Dia pun kagum terhadap Cina dan merupakan salah satu negara yang berhasil melakukan keajaiban. Tidak ada negara yang bisa meraih kemajuan secepat Cina. Ibu yang memiliki tiga putri ini melanjutkan, “Dari negara yang tertutup, mengalami kesulitan kemudian melakukan perubahan dan mereposisi diri, hingga sekarang tiba-tiba menjadi negara yang besar. Bahkan, saya percaya sebenarnya Cina sudah berada di posisi pertama negara terhebat di dunia. Ini antara lain buah dari cara berpikir dan kepercayaan diri pemimpin dan masyarakat di sana yang yakin akan menjadi negara terhormat dan maju. Dengan semangat bangsa Cina ‘daguo’ yang memberi kekuatan dan diucapkan sang pemimpin diikuti rakyatnya untuk menjadi negara besar dan kuat, akhirnya terwujud.”

 

Elly S | Foto: Fikar Azmy

 

Baca selengkapnya di e-magazine Women's Obsession edisi November 2023