Dramawan Pendiri Teater Koma Nano Riantiarno Tutup Usia

 

Indonesia kembali kehilangan seorang seniman berpengaruh. Norbertus Riantiarno atau yang lebih dikenal sebagai Nano Riantiarno bisa disebut maestro di bidang seni pertunjukan. Teater Koma yang didirikannya pada 1 Maret 1977 telah memproduksi lebih dari 225 pertunjukan hingga 2022. 

 

Dari tulisan dalam katalog Opera Primadona, Teater Koma 1988, Nano mengungkapkan bahwa perkumpulan kesenian tidak harus menjadi barang asing bagi masyarakat. Teater harus akrab, intim, luwes dan tentu saja menghibur. Seperti sebuah pohon, masyarakat adalah tanahnya. Atau bagai ikan, masyarakat adalah airnya. Tanpa tanah ataupun air, pohon dan ikan tak mungkin bisa hidup.

 

BACA JUGA:

Film ‘Everything Everywhere All at Once,’ Borong Critics‘ Choice Awards 2023

Kontribusi Generasi Muda Galang Solidaritas

 

Di dunia seni peran, Nano juga dikenal sebagai penulis skenario film dan televisi. Salah satunya yang berjudul "Jakarta, Jakarta" membuatnya dianugerahi Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang, (1978).

 

Nano pun sempat terjun di dunia jurnalistik dan ikut membidani lahirnya Majalah Zaman pada 1979 dan Majalah Matra pada 1986. Kiprahnya di bidang kepenulisan mengganjarnya dengan beberapa penghargaan. Antara lain lima hadiah sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta pada 1972, 1973, 1974 dan 1975, serta 1998.

 

Nano bersama sang istri Ratna membicarakan digitalisasi Teater Koma

 

Karya pentasnya yang berjudul Sampek Engtay (2004) masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun.

 

Nano Riantiarno meninggal dunia pada usia 73 tahun, Jumat (20/1) pukul 06.58 WIB. Rencananya pria yang dipanggil Jendil pada masa kecilnya ini akan dimakamkan di Taman Makam Giri Tama, Tanjong, Bogor. (Nur A | Dok. Teater Koma)