Diet sehat kini menjadi topik yang banyak diperbincangkan, dengan adanya berbagai jenis yang populer dan banyak dicoba. Mulai dari diet yang mengatur waktu makan hingga yang berbasis tanaman tanpa daging, setiap orang mencari yang terbaik bagi tubuh mereka. Namun, sebenarnya diet yang sehat bukan sekadar soal menurunkan berat badan, melainkan mengatur pola makan yang seimbang.
Menurut Khoirul Anwar SGz, Msi, Ketua Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), banyak yang salah paham bahwa diet berarti mengurangi berat badan. “Padahal, diet adalah tentang mengatur pola makan yang seimbang dan bergizi, seperti yang diusung konsep SELARAS,” jelasnya.
Eathink merupakan platform dari Foodsustainesia untuk membantu generasi milenial memilih produk makanan dan menanamkan kesadaran tentang pentingnya keberlanjutan pangan. Panduan SELARAS yang dikeluarkan Eathink menekankan lima prinsip, yakni Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, dan Sadar.
Jaqualine Wijaya, CEO dan Co-founder Eathink menyatakan, “SELARAS mengajak kita untuk mengonsumsi makanan dengan komposisi gizi yang seimbang dan meminimalkan bahan kimia dalam makanan.”
Menerapkan pola makan yang ramah lingkungan dan sehat tidak selalu rumit atau mahal. Persepsi tentang makan sehat kadang tidak mudah, terutama di kalangan anak muda. Banyak yang menganggap makanan sehat identik dengan sayur yang dianggap tidak enak. “Hasil survei kami menunjukkan bahwa preferensi makanan sehat pada anak muda dipengaruhi banyak faktor, mulai dari lingkungan keluarga hingga kebiasaan,” papar Jaqualine.
Khoirul juga mencatat bahwa meski banyak anak muda sadar akan pentingnya pola makan sehat, implementasinya seringkali kurang optimal. Kesadaran sudah tinggi, namun banyak yang tidak memaksimalkan konsumsi gizi, bahkan ada yang membuang makanan sehat.
Makanan viral yang sering muncul di media sosial tidak selalu buruk untuk dicoba. “Mencoba makanan baru tidak masalah selama kita tidak berlebihan. Yang penting, kita tetap menjaga keseimbangan dalam konsumsi makanan,” jelas Khoirul, yang juga dosen Gizi di Universitas Sahid Jakarta ini.
Makanan lokal yang ada di sekitar kita banyak yang lebih terjangkau dan bergizi, namun kurang dikenal. Khoirul mengingatkan bahwa Indonesia kaya akan ikan lokal dan kacang-kacangan yang setara dengan bahan pangan impor. Hal ini menunjukkan pentingnya untuk mengenal dan mengoptimalkan potensi pangan lokal. Dalam mengolah makanan, proses pemasakan bisa mempengaruhi kandungan gizi. “Makanan olahan seperti fermentasi tetap memiliki nilai gizi yang baik, namun cara pengolahan seperti menggoreng bisa mengurangi kandungan gizinya,” jelas Khoirul.
Selain itu, Seto Nurseto, dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, menyebutkan bahwa setiap daerah memiliki tradisi dan proses pengolahan makanan yang unik. Menurutnya, makanan lokal tidak hanya bergizi, tetapi juga mencerminkan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat.
Pentingnya kesadaran terhadap pola makan sehat juga mencakup pemilihan bahan pangan yang ramah lingkungan. Jika ingin bahan pangan yang sehat dan murah, bahkan bisa menanam sendiri. Agroekologi dapat memudahkan untuk menciptakan kebun sehat di rumah tanpa merusak lingkungan. Proses adaptasi prinsip-prinsip hutan dan pertanian berkelanjutan tersebut bisa diterapkan meski di lahan terbatas. “Dengan menanam berbagai jenis tanaman di kebun rumah, kita dapat menjaga keberagaman dan membantu melestarikan biodiversitas,” tambah Jaqualine. [Dok. Eathink]