Di usia muda, Cahaya memimpin gerakan inklusi dan inovasi sosial yang berdampak nyata bagi kelompok marjinal. Dia menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan bisa lahir dari kolaborasi, empati, dan keberanian menyentuh aspek yang tidak biasa
Tak semua orang punya keberanian untuk keluar dari zona nyaman, apalagi ketika sudah menapaki jalur karier yang aman dan jelas. Namun Cahaya Manthovani justru memilih membelokkan arah. Lulus dari jurusan arsitektur di Kyungsung University, Korea Selatan, Cahaya tak berlamalama berada di dunia desain bangunan. Dia melangkah lebih jauh ke dunia sosial yang penuh tantangan, tak pasti hasilnya, dan nyaris tak menjanjikan keuntungan.
Cahaya kini menjabat sebagai Executive Director PT Bumi Serang Asri, sekaligus Ketua Harian Yayasan Inklusi Pelita Bangsa, dua peran yang sekilas tampak kontras, tapi justru saling melengkapi. Dia membangun pondasi karier di sektor swasta dengan nilai-nilai sosial, lalu menanamkan semangat bisnis ke dalam gerakan inklusi yang dia rintis. Di tengah narasi umum tentang perempuan muda yang berjuang keras di kota besar, Cahaya memilih medan lain, yakni sekolah luar biasa di pinggir kota, komunitas yang terpinggirkan, dan keluarga yang tidak tahu ke mana harus membawa anaknya yang istimewa. “Banyak orang lihat anak-anak ini sebagai beban. Tetapi saya justru melihat potensi yang belum sempat diberi ruang,” katanya.
Prinsip inklusi yang dipegangnya bukan hanya teori. Dia bergerak langsung dengan program nyata, salah satunya Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas lewat yayasannya. Fokusnya sederhana, yakni memastikan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan asupan nutrisi yang layak. Tetapi di balik itu, ada kerja panjang membangun kepercayaan keluarga, melatih empati relawan, hingga berhadapan dengan birokrasi yang tidak selalu ramah.
Latar belakang keluarga membuat Cahaya peka terhadap isu keadilan sejak dini. Dia tumbuh menyaksikan langsung bagaimana kedua orang tuanya, Reda Manthovani dan Syuastri Wijaya, mengabdikan waktu untuk kelompok rentan. Dia belajar bahwa kemanusiaan tidak cukup diajarkan lewat ucapan, tapi harus lewat tindakan. “Saya besar menyaksikan cerita perjuangan. Nilai-nilai itu akhirnya meresap tanpa saya sadari,” ujarnya.
Langkahnya tak berhenti di situ. Cahaya juga mendirikan Innovation Catalyst (INCA), sebuah wadah yang memadukan inovasi sosial dan teknologi. Filosofi yang dipegangnya sederhana tapi kuat, yakni “The Power of Mind”. Dia percaya ide besar bisa lahir dari siapa pun, selama diberi ruang dan kepercayaan. Keyakinan itu pula yang menjadi penggeraknya ketika sempat dianggap terlalu muda, terlalu idealis, bahkan terlalu halus untuk memimpin. “Saya tidak pernah merasa harus jadi seperti orang lain hanya untuk diterima,” katanya.
Dia sadar betul, keberhasilan hasil dari banyak langkah kecil yang terus dijalani, meski perlahan. Pepatah Tiongkok kuno yang selalu dia ingat berbunyi, Tian Cong Ren Yuan, menyatakan bahwa kesuksesan adalah perpaduan antara nasib dan upaya. Dirinya tidak ingin gerakan inklusi hanya hadir dalam seminar atau dokumen kebijakan. Dia ingin hal itu hidup dalam sistem pendidikan, dalam cara kita memperlakukan anak-anak dengan kebutuhan khusus, dan dalam keseharian masyarakat.
Cahaya percaya perubahan yang berarti tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari keberlanjutan. Baginya, Kartini masa kini adalah mereka yang tidak hanya bicara soal emansipasi, tapi hadir langsung di tengah tantangan. Dia berharap semakin banyak perempuan Indonesia yang berani merumuskan jalannya sendiri tanpa harus tunduk pada ekspektasi yang dibentuk oleh masyarakat. Dia meyakini bahwa setiap perempuan punya potensi besar untuk menjadi agen perubahan, selama mereka diberi ruang untuk tumbuh dan didukung oleh lingkungan yang sehat. “Perempuan itu tidak harus sempurna untuk berdampak. Terpenting, kita tahu arah dan terus melangkah,” ujarnya.
Naskah: Angie Diyya | Foto: Atiek Hendriyanti | Digital Imaging: Fikar Azmy
Baca selengkapnya di e-magazine Women´s Obsession edisi 124