DSC Season 16 Digelar, Shinta Kamdani: UMKM Adalah Future Builders, Tapi Tak Bisa Sendiri

 

Di tengah perlambatan ekonomi nasional, banyak pelaku usaha terpaksa menyesuaikan langkah lebih cepat dari biasanya. Di situasi semacam ini, ruang-ruang kolaborasi menjadi penting, bukan hanya untuk bertahan, tapi juga untuk menemukan bentuk baru dari keberanian berusaha. Diplomat Success Challenge (DSC) Season 16 hadir sebagai salah satu ruang itu, membawa tema Wujud Sinergi Kolaborasi dan menggandeng berbagai sektor dalam satu barisan.

 

Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Umum APINDO sekaligus Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, membuka gelaran DSC tahun ini dengan satu pesan utama: membangun ekosistem wirausaha tidak cukup dilakukan oleh satu aktor saja.

 

“Selamat datang para pejuang usaha. The Risktakers, The Solutionmakers, and The Dreambuilders of Indonesia,” sapanya di acara Kick Off dan Konferensi Pers DSC musim ke-16.

Menurut Shinta, pemulihan ekonomi tidak bisa terus bergantung pada pola lama. Dunia sudah berubah. Pola pikir dan cara kerja juga harus ikut bergeser. “Kita tidak bisa menjalankan hal yang sama dan berharap hasil yang berbeda,” ujarnya tegas.

 

Shinta melihat DSC bukan sekadar kompetisi, melainkan ruang hidup tempat tumbuhnya keberanian dan karakter wirausaha yang tahan uji. Ia bahkan memberi makna baru pada singkatan DSC sebagai filosofi yang merangkum nilai dasar wirausaha masa kini.

 

“Saya punya singkatan sendiri untuk DSC. D itu Dare, keberanian memulai dan mengambil risiko. S itu Shift, kemampuan beradaptasi dan keluar dari kebiasaan lama. C itu Create, daya cipta dalam membangun solusi, nilai, dan masa depan berkelanjutan.”

 

Baginya, DSC adalah mitra strategis dalam mewujudkan apa yang disebutnya sebagai Indonesia Incorporated. Ekosistem wirausaha yang sehat, menurutnya, hanya bisa dibangun lewat sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil. “Kolaborasi bukan cuma strategi, tapi kebutuhan,” ucapnya.

 

Komitmen itu pula yang mendorong DSC tahun ini memperluas jejaringnya, termasuk menggandeng APINDO, Food Startup Indonesia (FSI), serta sejumlah institusi pendidikan dan budaya. Kolaborasi lintas sektor ini dirancang bukan sebagai simbol, tapi sebagai jalan konkret untuk menghidupkan sistem usaha yang lebih adil dan berpihak, terutama bagi pelaku UMKM dan perempuan pengusaha yang selama ini menghadapi hambatan struktural.

 

Direktur Akses Pembiayaan Kemenparekraf/Baparekeraf, Hanifah Makarim,menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mendorong pelaku usaha kecil di sektor ekonomi kreatif agar mampu naik kelas dan bersaing di level global. “Yang paling penting menurut saya adalah kolaborasi. Kolaborasi dalam hal sinergi keterampilan dan pengalaman,” ujarnya. Hanifah menyoroti bahwa masih banyak pelaku usaha yang telah puluhan tahun berkecimpung di dunia usaha namun tetap terkendala akses pembiayaan dan minim dukungan untuk berkembang. Ia merujuk data Kementerian Koperasi dan UMKM yang mencatat bahwa sekitar 99 persen dari 60 juta UMKM di Indonesia masih berada pada skala mikro. “Tantangan kita adalah bagaimana pelaku usaha mikro bisa naik kelas menjadi kecil, lalu menengah, bahkan besar dan bisa go global,” katanya.

 

Sejak awal berdiri, DSC memang tidak pernah hanya berfokus pada angka omzet atau pertumbuhan cepat. Seperti dikatakan Surjanto Yasaputera, Founding Father dan Ketua Dewan Komisioner DSC, “Kami mencari wirausahawan yang Paham persoalan yang ingin diselesaikan, Piawai dalam eksekusi, dan punya Persona, karakter yang membawa nilai.” Prinsip 3P ini, lanjutnya, tetap relevan untuk 30 tahun ke depan.

 

 

Ruang belajar yang ditawarkan DSC juga diperkuat lewat proses inkubasi dengan pelaku usaha berpengalaman seperti M. Jupaka, Nilam Sari (Kebab Turki Baba Rafi), Arief Budiman (CEO Agrindo), hingga Andanu Prasetyo, pendiri Kedai Kopi Tuku. Bagi Andanu, kekuatan sebuah usaha bukan terletak pada seberapa cepat berkembangnya, tapi seberapa kuat koneksi manusianya.

 

“Kolaborasi itu bukan cuma soal berbagi ide. Tapi berbagi keberanian, daya tahan, dan juga keraguan,” ujarnya. “Karena wirausaha bukan jalan yang selalu pasti. Dan justru dengan saling dukung, kita bisa bikin ekosistem usaha yang tidak cepat tumbang.”

 

Konsistensi DSC selama 16 tahun ini juga terlihat dari terus berkembangnya komunitas alumni yang tergabung dalam Diplomat Entrepreneurs Network (DEN). Mereka tak hanya membangun bisnis, tapi juga menciptakan model usaha berbasis nilai lokal dan keberlanjutan. Ini adalah pengingat bahwa ekosistem wirausaha yang sehat tidak lahir dari satu musim, tapi dari proses kolektif yang panjang.

 

Ronald Walla, Direktur Utama PT Wismilak Inti Makmur Tbk, menyebut relevansi DSC justru bertambah kuat seiring waktu. “Yang membuat kami bangga bukan cuma jumlah proposal yang masuk, tapi karena DSC terus tumbuh bersama pelaku usaha muda di seluruh Indonesia.”

 

Tahun lalu, lebih dari 39.000 proposal masuk ke DSC. Tapi angka itu bukan hanya statistik. Di dalamnya tersimpan ribuan keberanian, harapan, dan pencarian akan cara baru membangun masa depan. Melalui DSC Season 16, semua itu kembali diberi ruang. Bukan hanya sebagai kompetisi, melainkan sebagai rumah tumbuh bagi pelaku usaha yang percaya bahwa kerja bersama adalah fondasi dari dampak ekonomi yang berkelanjutan. [AD \ Foto: Istimewa]