Menjadi rupawan dan hidup dalam kemewahan tidak serta-merta membuat Milla bahagia. Setelah menikah dengan Jonathan, bagian dari keluarga Gunawan yang terpandang, hidupnya tampak sempurna dari luar. Ia menjalankan peran sebagai istri, ibu, dan menantu dengan ketelitian yang nyaris tanpa cela. Tapi saat tubuhnya mulai menunjukkan gejala aneh yang tak bisa dijelaskan medis, Milla perlahan merasa ada sesuatu yang keliru. Penyakit misterius itu bukan hanya mengganggu fisiknya, tapi juga mengguncang kepercayaannya atas hidup yang selama ini ia jalani.
Di tengah kegelisahan yang makin mengunci, Milla mulai menelusuri ulang hidupnya, mencari apa yang selama ini terkubur di balik peran dan tuntutan yang terus menumpuk. Jati diri yang terkikis, luka yang diwariskan, dan peran-peran yang melelahkan.
Ditulis oleh Lucky Kuswandi bersama Andri Cung, film A Normal Woman menghadirkan drama psikologis dengan latar yang dekat dengan kehidupan sehari-hari perempuan urban, membawa penonton menyelami keretakan batin seorang perempuan yang selama ini selalu tampil kuat dan mampu. Marissa Anita memerankan Milla dengan nuansa yang rapuh sekaligus kuat. Sosok yang nyaris tidak sadar sedang terperangkap dalam tekanan sosial yang tampak “normal”.
Dalam konferensi pers menjelang rilis film, Lucky berbagi bagaimana ia mengembangkan cerita ini dari rasa ingin tahunya pada konsep healing. “Saya melihat healing bukan sekadar pemulihan, tapi self-retrieval, atau mengambil kembali bagian dari diri kita yang hilang atau dihapus,” ungkapnya. “Banyak dari kita tanpa sadar mengorbankan sebagian dari diri karena harus menjalani peran-peran tertentu. Dan ketika itu terjadi, tubuh kitalah yang pertama kali memberi alarm bahwa ada yang tidak beres.”
Andri Cung melanjutkan, “Kami merasa bahwa dunia ini sedang tidak baik-baik saja. Banyak hal yang dianggap wajar, padahal membuat kita menjauh dari diri sendiri. Tapi di film ini kami tidak sedang menunjuk siapa yang salah. Semua karakter memiliki alasan dan beban masing-masing, dan itu justru yang membuatnya manusiawi.”
Film ini juga jadi ruang refleksi bagi para pemerannya. Marissa Anita mengaku karakter Milla membuatnya berpikir ulang tentang autentisitas. “Perempuan zaman sekarang memikul banyak peran. Tapi kita sering lupa memberi ke diri sendiri. Yang saya pelajari dari Milla adalah bagaimana menjaga akar agar tetap kuat, supaya bisa terus memberi tanpa kehilangan diri.”
Ia juga menyebut proses membangun karakter Milla sangat kolaboratif, termasuk membaca buku The Myth of Normal karya Gabor Maté dan menggali pengalaman pribadi. “Semua orang pernah berada di posisi ingin menyenangkan orang lain. Tapi Milla melakukannya sampai ekstrem, karena ia tidak pernah merasa cukup dicintai.”
Deretan karakter lain pun memperkuat lapisan cerita yang ditawarkan film ini. Gisella Anastasia, Widyawati, Mima Shafa, dan Maya Hasan membawakan peran masing-masing dengan pendekatan yang reflektif.
Gisella, yang memerankan Erika, menyampaikan bahwa ia harus belajar untuk tidak menghakimi. “Erika ini kompleks. Tapi saya percaya semua karakter dibentuk oleh pengalaman hidup. Itu yang saya pelajari juga di luar layar," jelasnya.
Pemeran karakter Liliana sebagai ibu mertua Milla, aktris senior Widyawati merefleksikan kontrol dalam bentuk yang nyaris tak kentara. “Karakter ini terlihat dominan karena banyak ekspektasi, tapi sebenarnya ada masa lalu yang membentuknya,” ujarnya. Hubungannya dengan Jonathan sangat dekat, bahkan cenderung posesif. “Jonathan itu anak mami. Semua harapan Liliana ada padanya. Saya tidak bilang itu salah, setiap orang tua punya cara mencintai masing-masing.”
Soal bekerja dengan Lucky Kuswandi, ia mengaku senang. “Mayoritas pemainnya anak muda, saya paling tua sendiri. Tapi suasananya hangat. Lucky tahu apa yang dia mau, tapi juga terbuka untuk diskusi.”
Sementara Mima yang memerankan Angel, anak perempuan dari generasi lebih muda, melihat bahwa trauma keluarga bisa berhenti di satu titik. “Angel berani memotong pola itu. Saya percaya setiap anak bisa memilih untuk menyembuhkan, dan tidak melanjutkan luka yang sama.”
Maya Hasan menutup dengan perspektifnya sebagai Novi, ibu kandung Milla. “Novi adalah contoh ekstrem cinta yang bersyarat. Tapi justru dari situ saya belajar, bahwa anak bukan milik orang tua. Mereka bukan investasi, tapi amanah. Dan cinta yang sehat itu tidak transaksional.”
A Normal Woman menantang pemahaman kita soal ‘normalitas.’ Ia menggugat ekspektasi yang biasa tapi menyakitkan, membongkar dinamika keluarga yang selama ini dianggap wajar, dan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang tak nyaman tapi perlu.
“Bagi saya, seni adalah ruang untuk memulai percakapan,” ujar Lucky. “Film ini bukan untuk memberi jawaban, tapi mungkin bisa membuka pertanyaan baru. Tentang hidup, tentang tekanan yang tak terlihat, dan tentang siapa kita sebenarnya.”
“A Normal Woman” tayang di Netflix pada 24 Juli. Sebuah perjalanan emosional yang tak hanya membuka sisi lain dari luka perempuan, tapi juga mengajak penonton melihat ulang apa arti menjadi diri sendiri di tengah dunia yang terus menuntut untuk tampil baik-baik saja. [AD | Foto: Dok. Netflix]