Gangguan saluran pencernaan kerap dianggap sepele, padahal dampaknya bisa meresap hingga mengganggu kualitas hidup sehari-hari. Salah satunya adalah penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang masih sering disalahartikan sebagai diare biasa. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga produktivitas, bahkan kesejahteraan emosional pasien.
Menyadari pentingnya penanganan yang tepat dan terpadu, RS Abdi Waluyo menghadirkan langkah baru melalui peresmian IBD Center pertama di Indonesia bersama Endoscopy Center. Kedua fasilitas ini dirancang untuk memberikan layanan multidisiplin terpadu dengan dukungan teknologi mutakhir, menjadikannya langkah penting dalam penanganan penyakit pencernaan di Indonesia.
Peluncuran ini lahir dari meningkatnya prevalensi penyakit radang usus (IBD) di kawasan Asia, termasuk Indonesia, yang memiliki dampak serius terhadap kualitas hidup dan produktivitas pasien. Data Global Burden of Disease, Injuries, and Risk Factor Study (1990–2017) menunjukkan jumlah penderita IBD melonjak dari 3,7 juta menjadi 6,8 juta orang di 195 negara. Studi lain mencatat angka mortalitas IBD mencapai 17,1 per 1.000 pasien per tahun, lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol sebesar 12,3 per 1.000 per tahun.
Prof. dr. Marcellus Simadibrata, Ph.D, Sp.PD-KGEH, FACG, FASGE, FINASIM, Spesialis Gastroenterologi-Hepatologi RS Abdi Waluyo, menekankan bahwa Indonesia masih menghadapi keterbatasan akses obat-obatan mutakhir untuk IBD. “Sebagian besar pasien hanya mendapat terapi antiinflamasi oral, kortikosteroid, dan imunosupresan. Sementara obat biologis baru, seperti inhibitor JAK atau modulator reseptor S1P, masih jarang tersedia. Melalui pusat khusus ini, kami ingin menyediakan layanan komprehensif yang melibatkan berbagai spesialis agar pasien mendapat terapi yang optimal,” jelasnya.
Penyakit radang usus sendiri terbagi menjadi tiga tipe utama, yaitu Ulcerative Colitis (UC), Crohn’s Disease (CD), serta Colitis Indeterminate (Unclassified). Dr. Paulus Simadibrata, Sp.PD, menambahkan bahwa gejala umumnya meliputi nyeri perut berulang, perubahan pola buang air besar, diare berdarah, hingga penurunan berat badan. Diagnosis dilakukan melalui kombinasi pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi seperti CT scan atau MRI, dan endoskopi saluran cerna. “Setelah diagnosis ditegakkan, tingkat keparahan penyakit akan dinilai dengan sistem skoring, sehingga tim dokter dapat menentukan tata laksana yang paling sesuai,” katanya.
Tata laksana IBD umumnya mengandalkan terapi obat dalam bentuk tablet maupun injeksi, namun pada kasus tertentu diperlukan tindakan pembedahan. Dr. Amanda Pitarini Utari, Sp.PD-KGEH, menjelaskan bahwa pasien juga dianjurkan menjalani vaksinasi untuk mencegah infeksi yang dapat memperburuk kondisi. “IBD yang kronis berpotensi memerlukan pembedahan untuk mengangkat bagian saluran pencernaan yang rusak. Karena itu, kerja sama tim multidisiplin menjadi kunci dalam setiap penanganan,” ungkapnya.
Selain terapi medis, pencegahan juga penting. Dr. Amanda menekankan bahwa faktor genetik berperan cukup besar, di mana 5–20 persen penderita IBD memiliki anggota keluarga tingkat pertama dengan penyakit serupa. “Bagi individu dengan risiko genetik, gaya hidup sehat perlu diterapkan sedini mungkin. Asupan serat, konsumsi buah dan sayuran, serta pengurangan makanan olahan menjadi strategi jangka panjang untuk menekan risiko berkembangnya IBD,” tambahnya.
Komplikasi IBD bisa berbahaya bila tidak ditangani dengan tepat. Dr. Indra Marki, Sp.PD-KGEH, FINASIM, menjelaskan bahwa pasien berisiko mengalami kanker kolon, polip, striktur usus besar, hingga toxic megacolon yang berpotensi menyebabkan infeksi sistemik. “Selain komplikasi di sistem pencernaan, IBD juga dapat menimbulkan keluhan di luar usus, seperti radang sendi, luka pada kulit, sariawan kronis, hingga radang pembuluh darah. Karena itu, deteksi dini dan perawatan komprehensif sangat penting,” ujarnya.
Sebagai langkah penguatan layanan, RS Abdi Waluyo IBD Center menjalin kerja sama dengan IBD Center University of Chicago. Kolaborasi ini mencakup diskusi kasus bulanan, webinar ilmiah, hingga observership dokter di Amerika Serikat. “Kami ingin menghadirkan praktik terbaik internasional di Indonesia. Kemitraan ini membantu kami menangani kasus IBD kompleks, termasuk Crohn’s Disease dengan fistula hingga Ulcerative Colitis berat yang memerlukan terapi biologis canggih,” kata Prof. Marcellus.
Selain itu, IBD Center RS Abdi Waluyo juga tercatat sebagai anggota The European Crohn’s and Colitis Organization (ECCO), menjadikannya yang pertama di Indonesia. Dengan posisi ini, rumah sakit berharap dapat menjadi pusat rujukan nasional untuk penyakit pencernaan, khususnya IBD, sekaligus berkontribusi pada edukasi masyarakat dan peningkatan kapasitas tenaga medis di Tanah Air.
Dr. Indra menutup dengan pesan penting agar masyarakat lebih waspada terhadap gejala IBD dan tidak menunda pemeriksaan medis. “Semakin cepat pasien datang, semakin besar peluang penyakit ini dapat dikendalikan dengan baik. Perawatan dini bukan hanya mencegah komplikasi, tetapi juga membantu pasien tetap produktif dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik,” tegasnya. (Angie | Dok. RS Abdi Waluyo)