Kampanyekan Merek Kolektif untuk Kembangkan Koperasi

Dewi Tenty Septi Artiany, Notaris dan Pemerhati Koperasi

Benak Dewi Tenty Septi Artiany yang dipenuhi idealisme ketika itu beranggapan bahwa menjadi seorang notaris adalah pekerjaan yang sama sekali tidak menantang. Dia lebih tertarik pada hukum tata negara yang sifatnya lebih mengkritisi suatu kebijakan. Namun, seiring berjalannya waktu, dia malah menemukan bidang yang kini malah menyita perhatiannya, yaitu perkoperasian.

 

Sebagai profesi yang banyak ditekuni, ternyata tidak mudah untuk menjadi seorang notaris. Berbeda dengan lulusan fakultas hukum yang bisa langsung menjadi advokat, untuk menjadi notaris harus menempuh pendidikan spesialisasi terlebih dahulu. 

 

Pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa calon notaris harus mengikuti jenjang Strata 2 (S2) jurusan kenotariatan, agar dapat mengikuti syarat-syarat menjadi notaris. Hal ini dipicu karena tingginya permintaan akan bantuan dan layanan notaris. Jika dulu hanya ada lima universitas yang mengadakan pendidikan kenotariatan, kini sudah berkembang jauh lebih banyak, termasuk pihak universitas swasta.

 

Di kalangan praktisi kenotariatan, Dewi dikenal sebagai sosok yang peduli pada pengembangan koperasi dan UMKM. Dia mulai bersinggungan dengan koperasi pada 2004, ketika notaris mulai dilibatkan membuat akta koperasi. “Saya mulai ingin tahu, kenapa koperasi ini seperti barang yang ditinggalkan. Kemudian saya juga melihat banyak sekali orang yang tidak menaruh perhatian ke koperasi,” ujar lulusan magister kenotariatan Universitas Indonesia ini.

 

Keingintahuannya semakin membuncah mengapa koperasi tidak dianggap menarik, baik di kalangan masyarakat maupun notaris sendiri. Sebagai sebuah badan usaha, paradigma koperasi selalu diidentikkan dengan kalangan ekonomi lapisan bawah. Saat mengambil S2 di UGM penelitian Dewi membahas tentang pengawasan terhadap koperasi simpan pinjam, karena rasa khawatir akan maraknya bank gelap berkedok koperasi. Ketika melanjutkan ke S3, dia meneruskan penelitian terhadap merek kolektif untuk koperasi produksi. Sejak itu dia bercita-cita agar koperasi bisa lebih berkompetisi di tingkat nasional maupun internasional.

 

Pada saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia. Perkembangan jumlah koperasi dan anggota koperasi dari tahun 2013 hingga tahun 2018 mengalami peningkatan signifikan. Namun, hal tersebut belum mampu menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional, karena sumbangsih koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 5,1% saja.

 

Pertumbuhan kuantitasnya pun tidak disertai dengan pertumbuhan kualitas yang baik, sehingga banyak terjadi koperasi pasif. Ditinjau dari kontribusi omzet sektoralnya koperasi di Indonesia didominasi jasa simpan pinjam yang mencapai hampir 90%. Padahal untuk meningkatkan PDB harus dengan menambah jumlah dan potensi dari jenis koperasi lainnya, seperti koperasi konsumen maupun produsen.

 

“Padahal apabila gerak masyarakat yang tergabung dalam koperasi dioptimalkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Belum lagi posisi koperasi yang sejak awal keberadaannya sudah dihadapkan pada pesaing internasional dan nasional yang kuat serta ketatnya persaingan produk di tingkat global,” ujar ibu lima anak ini.

 

Dewi pun sering berpartisipasi dalam forum-forum yang membahas problem yang dihadapi koperasi di Indonesia, baik di almamaternya maupun di tingkat nasional. Salah satu masalah penting yang harus ditangani adalah identitas produk yang di dalamnya mencakup merek, logo, kemasan, label, cita rasa, standarisasi, sertifikasi mutu, dan paten. Dua tahun terakhir dia aktif mengampanyekan penggunaan merek kolektif sebagai langkah mengembangkan koperasi.

 

Merek bukan sekadar logo atau nama perusahaan, melainkan imej atau persepsi seseorang tentang produk atau perusahaan. Merek yang kuat tidak hanya dapat menciptakan kesadaran, tetapi juga memberikan jaminan kualitas barang dan berfungsi sebagai sarana promosi.

 

“Kebutuhan adanya perlindungan hukum atas merek semakin berkembang pesat, setelah banyaknya kejadian orang yang melakukan peniruan-peniruan. Selain itu, merek kolektif bisa meringankan biaya, memproteksi produk, sehingga tidak bersaing sendiri-sendiri. Mereka dapat bersama-sama menghadapi persaingan dari luar,” tutup peraih gelar doktor dari Universitas Padjadjaran tahun lalu ini. Nur A | Foto: Fikar A