Pergi dengan Kenangan

Setelah dilanda pandemi dan adanya pelarangan pertunjukan, Titimangsa Foundation bekerja sama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation akhirnya kembali menggelar pentas seni teater secara langsung. Berlokasi di Ciputra Artpreneur Theatre, Kuningan, kali ini pentas yang dibawakan mengusung tema ‘Teater Musikal Monolog Inggit Garnasih’. Dibawakan oleh Happy Salmah lakon ini mengisahkan tentang Inggit Garnasih yang merupakan istri kedua dari presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.

 

Diadaptasi dari roman ‘Kuantar Ke Gerbang’ karya sastrawan Ramadhan KH, monolog ini menceritakan Inggit yang menghabiskan waktu selama 20 tahun bersama Soekarno. Dia membantu perekonomian keluarga mereka dengan berjualan jamu, perlengkapan rumah tangga, dan lain-lain. Dia juga mendukung pendidikan Soekarno hingga lulus dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB). Tidak hanya itu, Inggit pun terus memberikan semangat kepada Soekarno ketika memulai pergerakan awalnya dalam berorganisasi, juga mendampingi saat pengasingannya di Ende dan Bengkulu. Perempuan asal Bandung ini pun tetap setia tatkala sang Proklamator ditahan di penjara Sukamiskin.

 

 

Sayangnya, saat Indonesia hampir sampai di gerbang kemerdekaan, Soekarno menyatakan keinginannya untuk menikah lagi. Mendengar hal tersebut, Inggit tentu terluka. Dia kemudian lebih memilih mengemasi barang-barang miliknya dan kembali ke Bandung, tanah kelahirannya. Pergi dengan kenangan yang turut dikemas dalam koper tuanya, Inggit memilih mempertahankan martabatnya sebagai perempuan dan menolak dimadu, meski dijanjikan menjadi istri utama. Dia memilih untuk menghentikan langkahnya mendampingi Soekarno.

 

Dibawakan dengan cara monolog, Happy Salma sukses membuat para penonton terbawa emosi yang dirasakan Inggit. Selaku produser dan pemeran Inggit, dia mengungkapkan, “Inggit adalah sosok penting dan saksi berbagai peristiwa masa perjuangan yang dilalui oleh para tokoh pendiri bangsa ini. Dia adalah sebuah spirit tentang kejujuran dan cerminan kedalaman perasaan seorang perempuan. Ini adalah sebuah fase yang tidak pernah dibicarakan dalam narasi sejarah besar, kisah yang ada di wilayah domestik para pendiri bangsa ini.” 

 

Indah | Foto: Edwin Budiarso