Menjadi seorang ibu adalah peran yang penuh warna, namun tidak jarang dalam perjalanan ini, tekanan muncul menguji kesabaran dan kekuatan seorang ibu.
Menjadi seorang ibu adalah peran yang penuh warna. Namun, tidak jarang dalam perjalanan ini, tekanan muncul menguji kesabaran dan kekuatan. Ketika stres menjadi bagian yang terus berulang, maka bisa berdampak luas, bukan hanya bagi sang ibu tetapi juga hubungan dengan anak-anak yang dicintainya. Bagaimana langkah terbaik untuk mengelola tekanan agar tetap menjaga keharmonisan dalam keluarga?
“Dalam parenting, sumber stres pada ibu biasanya terbagi menjadi dua. Pertama, masalah personal yang dialami ibu sendiri, dan kedua, masalah berkaitan dengan anak,” ujar Samantha Elsener, seorang psikolog. Dia menjelaskan bahwa urusan personal ibu biasanya berhubungan dengan hubungan interpersonal, seperti dinamika dengan pasangan, keluarga besar, atau teman, serta tekanan pekerjaan dan masalah finansial. Menurutnya, kadang tekanan ini tidak disadari menumpuk, sehingga memengaruhi cara ibu bereaksi terhadap anaknya.
Sementara itu, masalah yang berkaitan dengan anak bisa berupa perilaku yang sulit diatur, emosi yang tidak stabil, atau kesehatan anak terganggu. Samantha mengungkapkan bahwa ketika anak mengalami tantangan, seperti sakit atau tantrum, ini bisa menciptakan lingkaran stres yang saling memengaruhi antara ibu dan anak. “Misalnya, anak menjadi rewel karena sesuatu, lalu stresnya dirasakan oleh ibu dan tanpa sadar reaksinya memperburuk kondisi anak. Siklus ini pun berulang,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa lingkaran stres tersebut bisa bermula dari arah sebaliknya. “Jika ibu sedang menghadapi tekanan personal, misalnya konflik dalam rumah tangga atau masalah pekerjaan, perasaan ini dapat terbawa ke pola asuh. Anak yang merasakan perubahan emosi ibu bisa bereaksi negatif, yang kemudian membuat ibu semakin tertekan,” tuturnya.
Samantha berpendapat pentingnya mengenali jenis stres yang dialami, yaitu stres positif (eustress) dan stres negatif (distress). “Stres positif sebenarnya mendorong kita untuk berkembang, tetapi jika dibiarkan menjadi negatif, itulah yang kita sebut distress. Terkait parenting, distress bisa membuat ibu lebih mudah marah dan kehilangan kesabaran,” ungkapnya.
Reaksi marah yang muncul akibat distress adalah bentuk pelampiasan emosional yang tidak sehat. Lalu, bagaimana cara memutus siklus ini? Dia menekankan pentingnya regulasi emosi dan kesadaran diri. “Ibu perlu memberikan waktu untuk dirinya sendiri agar dapat menenangkan pikiran. Dukungan dari pasangan atau keluarga sangat membantu. Jangan ragu untuk meminta bantuan profesional jika diperlukan,” sarannya.
Samantha juga berbagi tips praktis bagi para ibu yang ingin mengambil waktu sejenak untuk diri sendiri, atau yang biasa dikenal sebagai me time. “Ibu dapat mencoba untuk menetapkan waktu khusus, misalnya 20 menit, dan gunakan timer agar waktu tersebut terasa terstruktur. Jelaskan kepada anak bahwa ibu membutuhkan waktu untuk beristirahat atau misalnya pampering. Anak-anak pada usia tiga tahun ke atas umumnya sudah dapat memahami penjelasan sederhana,” jelasnya. Dengan cara ini, ibu dapat mengambil jeda tanpa merasa khawatir.
Setiap ibu memiliki batas kemampuan yang berbeda-beda. Samantha menyebut tidak perlu merasa bersalah jika sesekali merasa lelah. “Parenting adalah proses, dan penting untuk menjaga keseimbangan agar ibu tetap sehat secara fisik maupun mental,” ujarnya.
Menutup pembahasannya, Samantha mengajak para ibu untuk lebih menghargai diri mereka sendiri. “Anak membutuhkan ibu yang bahagia dan sehat, bukan yang sempurna. Dengan mengelola stres, ibu tidak hanya menjaga diri sendiri, tetapi juga memberikan lingkungan yang lebih harmonis bagi anak,” pungkasnya. Nasihat ini mengingatkan kita bahwa peran seorang ibu memang tidak mudah, tetapi dengan pendekatan yang tepat, siklus stres dapat dihentikan agar tercipta hubungan yang lebih kuat dan positif antara ibu dan anak.