Dalam semangat Hari Kartini, sejumlah perempuan dari berbagai usia dan latar belakang budaya berkumpul dalam acara bertajuk Perempuan Berkarya: Lintas Generasi dan Budaya di Warung Turki, Jakarta. Kolaborasi ini menjadi ruang temu ide dan ekspresi antara para sociopreneur muda, desainer, pelajar, pelaku usaha kreatif, serta komunitas perkawinan campur Srikandi.
Acara ini diinisiasi oleh tokoh perempuan seperti Maya Miranda Ambarsari (pemilik Rumah Belajar Miranda), Yanti Subianto (pemilik Warung Turki), dan Liesna Subianto (desainer Kebaya Jeng Sri), bersama Perkumpulan Srikandi Mixed Marriages yang diketuai Ani Natalia.
Tiga perempuan muda dari 3 Saudari juga turut berperan, yaitu Cahaya Manthovani (sociopreneur), Karina Alya Manthovani (model), dan Nadira Parsa Manthovani (ilustrator). Ketiganya merepresentasikan semangat Kartini masa kini.
Bentuk Kolaborasi Nyata
Maya Miranda menekankan pentingnya solidaritas lintas generasi dan budaya, di mana perempuan muda dapat mengekspresikan keunggulan diri secara autentik. “Saat perempuan dari berbagai latar bersatu, akan tumbuh kreativitas dan dampak sosial yang besar. Semangat Kartini masih sangat relevan hari ini,” ujar Maya.
Ani Natalia menambahkan bahwa kolaborasi ini mencerminkan semangat perempuan masa kini yang inklusif, berkarya, dan saling mendukung. “Bukan hanya perayaan Hari Kartini, ini juga panggung bagi perempuan yang terus bergerak, berbagi, dan berkolaborasi,”jelasnya.
Di sisi lain, Cahaya Manthovani, yang juga Ketua Harian Yayasan Inklusi Pelita Bangsa, menekankan pentingnya kreativitas sebagai wujud kepedulian sosial. “Kartini-kartini muda harus lebih berani menunjukkan kreativitas dan bangga dengan budaya sendiri. Itu bagian dari kontribusi kita untuk Indonesia,” ujar Cahaya, yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif PT Bumi Serang Asri.
Sementara itu, suasana hangat di Warung Turki tak luput dari perhatian Yanti Subianto. Baginya, tempat ini bukan sekadar lokasi acara, tapi juga simbol kolaborasi lintas budaya. “Bukan cuma lintas generasi, tapi juga melintasi batas negara,” katanya.
Fashion Show Lintas Generasi
Salah satu bagian paling mencuri perhatian dalam acara ini adalah fashion show kolaboratif antara Liesna Subianto dan ilustrator muda Nadira (Nara) Parsa Manthovani, yang baru berusia 18 tahun. Melalui teknik patchwork yang rumit, Nara menghadirkan tujuh karakter perempuan dari beragam latar budaya, yakni Betawi, Jawa, Bali, Sumatera Barat, Dayak, Tionghoa, dan Papua. Ilustrasi yang dikerjakannya selama 3 hingga 5 jam per karakter itu kemudian diterjemahkan Liesna ke dalam kebaya modern. “Saya ingin anak muda lebih percaya diri dengan budayanya sendiri,” ujar Nara, yang memilih gaya visual yang ekspresif namun tetap membumi.
Tiap koleksi dirancang dengan bahan katun, dihiasi lukisan tangan bertema bunga, dan dipadukan dengan kain tradisional dari berbagai daerah, seperti Batik Cirebon, Jawa, Jambi, hingga Bali. Sentuhan ini menghasilkan kebaya yang terasa segar dan ringan, tanpa kehilangan kedalaman makna budaya.
Bagi Liesna, kolaborasi ini adalah bentuk ajakan halus untuk kembali melihat kekayaan budaya Nusantara dari sudut yang lebih dekat. “Budaya tradisional tetap bisa tampil berkelas dengan gaya yang lebih bebas, lebih ringan,” ucapnya, yang juga mengajar desain di ESMOD Jakarta.
Tujuh kebaya yang ditampilkan mengusung gaya kutubaru dan kartinian dengan warna-warna cerah serta ilustrasi berani. Beberapa desain memadukan elemen modern di satu sisi dan tenun tradisional pink di sisi lain, menampilkan kekayaan budaya dalam satu frame.
Karina Alya Manthovani menjadi muse dalam fashion show ini. “Lewat karya ini, kita melihat bagaimana perempuan Indonesia hari ini lebih bebas berekspresi dan berani menunjukkan kreativitas,” katanya. [Foto: Istimewa]