Tusita Mangalani Menyulap Emosi Menjadi Karya Seni Mendunia

 

Sosok seniman muda perempuan, Tusita Mangalani sukses membawa nama Indonesia harum di Negeri Gajah Putih, Thailand. Meski namanya belum sepopuler seniman arus utama Tanah Air lain, tapi karyanya sudah bicara lantang di panggung seni internasional.

 

Lewat kreasinya, perempuan kelahiran 1998 ini menjadikan seni bukan hanya sebagai profesi, tapi juga bentuk penyembuhan dan pernyataan diri. Puncaknya, pada Mango Art Festival 2025 yang berlangsung di River City Bangkok, saat dia menandai debut internasional bersama Whitestone Gallery di booth G1.

 

Dalam menciptakan karya, Tusita menggambarkan proses kreatifnya sebagai semacam visual journal. Dia menyampaikan isi hati, merekam perjalanan emosi, dan menciptakan ruang aman untuk berefleksi. Melalui medium mixed-media yang ia kembangkan, yaitu lukisan bertemu sulaman, manik-manik, dan detail tekstil, hingga menciptakan permukaan yang kaya, emosional, dan sangat personal.

 

 

“Karya saya adalah bagian dari proses penerimaan diri, berdamai, dan melangkah lebih percaya diri,” ungkapnya dalam salah satu wawancara.

 

Sarat akan nuansa dark romanticism dan kontemplatif, sang seniman mengaku bahwa karya-karyanya banyak terinspirasi dari lirik lagu, obrolan dengan sahabat, hingga pengalaman pribadi yang tak jarang berkaitan dengan identitas, tekanan sosial, dan pencarian jati diri.

 

Menariknya lagi, selain piawai melukis, Tusita memiliki ketertarikan yang tinggi pada fotografi, fashion design, dan video musik. Semua elemen itu melebur dan membentuk estetika khas yang terasa sangat penuh arti berani, namun tetap puitis.

 

Pada kesempatan pamerannya di Mango Art Festival 2025, karya-karya Tusita yang menggugah berhasil menarik perhatian kolektor, kurator, fashion enthusiast, hingga produser film. Seluruh karyanya nyaris terjual habis. Catatan ini tentu sebuah pencapaian besar untuk seniman muda yang baru memulai langkah di kancah global.

 

Karya-karya Tusita itu seolah menunjukkan bahwa sebagai perempuan, perjalanan hidup tak selalu mudah. Ada tekanan sosial, ekspektasi budaya, dan pencarian jati diri yang penuh belokan. Hal tersebut menjadi pengingat bahwa it's okay to feel lost, selama kita terus berproses. Melalui karya seni, dia tidak hanya menyuarakan dirinya secara pribadi, tapi juga membuka ruang untuk perempuan lain melihat kembali dirinya masing-masing. (Dok. Tusita Mangalani)