Deteksi Dini Aritmia dengan Cek Irama Jantung Sebelum Terlambat dengan Meraba Nadi Sendiri

Aritmia atau penyakit gangguan irama jantung masih kalah populer dibandingkan dengan penyakit jantung koroner atau penyakit jantung bawaan, padahal dengan melakukan deteksi dini secara sederhana saja dapat menyelamatkan banyak nyawa. Langkah sederhana seperti memeriksa denyut nadi sendiri sebagai deteksi dini sudah dapat mendeteksi aritmia. Hal inilah yang menjadi dasar dari kampanye “MEraba NAdi SendiRI (MENARI)”, sebagai bagian dari gerakan global Pulse Day 2026, yang mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap irama jantung mereka sebelum terlambat dan berakibat fatal.

 

Dalam sambutanya, Dr. dr. Dicky Armein Hanafy, Sp.JP(K), FIHA, FAsCC, Head of Pulse Day Task Force, Chairperson of Public Affairs Committee Asia Pacific Heart Rhythm Society (APHRS), menyatakan, “APHRS merupakan organisasi yang berkomitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, penelitian, dan pelayanan bagi pasien dengan gangguan irama jantung di kawasan Asia-Pasifik.

 

Pulse Day adalah inisiatif kesadaran global tahunan yang didedikasikan untuk meningkatkan pemahaman tentang aritmia jantung. Hari ini bertujuan untuk menginspirasi masyarakat di seluruh dunia agar mengambil langkah-langkah sederhana namun berdampak besar dalam melindungi kesehatan jantung mereka, seperti memahami irama jantungnya, memeriksa denyut nadi secara rutin, dan mencari nasihat medis jika ditemukan ketidakteraturan. “Cara mengecek denyut jantung yaitu dengan meletakkan jari telunjuk dan jari tengah di pergelangan tangan atau leher, hitung denyutnya selama 30 detik dan kalikan 2 untuk mendapatkan denyut per menit. Denyut normal biasanya berada di kisaran 60 hingga 100 detak per menit,” jelas dr. Dicky.

 

Tentu saja akan sangat mengurangi kualitas hidup penderitanya, sehingga ini membuat kami semakin giat untuk menyuarakan deteksi dini Aritmia, salah satunya AF,” dr. Dicky menerangkan. Menjelang puncak Pulse Day 2026, Indonesia bersama APHRS akan menggelar berbagai kegiatan, baik  secara online maupun offline. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi kampanye media sosial @pulseday2026 dengan pesan edukatif, APHRS Fun Run Yokohama 2025 sebagai soft launch Pulse Day di tingkat internasional, serta berbagai kegiatan lapangan seperti pulse check events, fun run, dan seminar publik yang mengedepankan pendekatan budaya lokal. Selain itu, kampanye ini juga akan diperkuat dengan promosi lintas media melalui kolaborasi bersama media massa, influencer, dan figur publik untuk memperluas jangkauan pesan edukatif.

 

 

 

Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah pentingnya pemahaman masyarakat mengenai Bantuan Hidup Dasar (BHD) seperti resusitasi jantung paru (RJP, atau Cardiopulmonary resuscitation (CPR)). “Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit/OHCA, setiap menit tanpa CPR menurunkan peluang hidup secara signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CPR oleh bystander CPR (penolong/orang di sekitar pasien) dapat meningkatkan peluang hidup tiga hingga empat kali lipat, sedangkan penggunaan AED (Automated External Defibrillator) oleh masyarakat bisa meningkatkan peluang hidup hingga lima kali lipat,” kata dr. Agung.

 

“Pelatihan BHD terbukti menyelamatkan nyawa. Semakin banyak masyarakat yang bisa melakukan CPR, semakin besar peluang korban henti jantung untuk bertahan hidup. Beberapa langkah praktis yang bisa diingat Masyarakat seperti: kenali tanda henti jantung yaitu korban tidak responsif dan tidak bernapas normal; segera hubungi 112 atau 119; mulai kompresi dada di bagian tengah, keras dan cepat (100–120 kali per menit, kedalaman 5–6 cm); gunakan AED bila tersedia dan ikuti instruksi alat; lanjutkan sampai petugas medis datang atau korban kembali sadar. Bantuan sederhana yang dilakukan dengan cepat bisa menentukan antara hidup dan mati pasien tersebut,” jelas dr. Agung.

 

Sebagai lanjutan dari upaya peningkatan kesadaran publik terhadap pentingnya deteksi dini dan penanganan gangguan irama jantung, pembahasan mengenai Aritmia kini juga perlu ditangani dengan lebih strategis, yaitu bagaimana sistem kesehatan nasional dapat merespons tantangan ini secara menyeluruh dan berkelanjutan. Hal ini yang memunculkan Blueprint Nasional Aritmia (Cetak Biru Rencana Pengembangan Aritmia Nasional), sebuah inisiatif yang dirancang untuk menjadi panduan strategis dalam memperkuat sistem pelayanan untuk Aritmia, mulai dari peningkatan kapasitas

sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan, hingga integrasi teknologi deteksi dan tata laksana aritmia di seluruh lapisan masyarakat.

 

Erika Maharani, Sp.JP(K), Ketua PERITMI / Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS)memaparkan, “Dokumen ini disusun sebagai respons terhadap meningkatnya beban penyakit aritmia di Tanah Air serta masih lebarnya kesenjangan layanan dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia-Pasifik. Berdasarkan data Asia Pacific Heart Rhythm Society (APHRS) White Book 2023, Indonesia hanya mencatat 0,30 implantasi defibrillator kardioverter implan (DKI) dan 0,51 tindakan ablasi fibrilasi atrium (FA) per satu juta penduduk, masing-masing 239 kali dan 1.280 kali lebih rendah dibandingkan Selandia Baru dan Jepang.

 

Kondisi ini menjadi cerminan bahwa akses terhadap layanan diagnosis dan terapi aritmia di Indonesia masih sangat terbatas, dan hal ini berisiko meningkatkan angka kejadian dan kematian akibat gangguan irama jantung yang tidak tertangani dengan baik,” ujar dr. Erika.(ES | Foto: Dok. APHRS)