Hany Seviatry: Memberanikan Diri untuk Berbisnis

Owner Batik Krakatoa

 

Jika kita ingin mempunyai banyak uang, beranilah untuk berbisnis sendiri. Itulah pesan yang disarankan kepada Hany Seviatry dari sang suami Helldy Agustian. Saat itu sang suami belum menjadi walikota Cilegon, namun masih berkarier sebagai Kepala Cabang Tunas Toyota Cilegon. “Jadi saya ditantang dan diberi usaha batik Krakatoa untuk bisa menghasilkan uang sendiri, padahal jujur saya bukan tipe orang yang pemberani dan memiliki naluri bisnis awalnya. Saya sempat tidak percaya diri sekaligus takut rugi jika dalam berbisnis. Dengan pengalaman bekerja tujuh tahun di bagian analisis kredit Bank Kesawan, saya pun terpaksa menerima kail yang diberikan suami. Dengan berjalannya waktu saya kemudian berusaha banyak belajar di lapangan dan tidak mau cepat patah semangat. Ternyata memang benar lama-lama saya bisa juga menjadi entrepreneur. Syukurlah, meskipun tidak mudah menjalankan usaha secara ‘halal’, hasil usaha ini bisa bermanfaat untuk menyekolahkan anak-anak dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari,” ujar Hany seraya tersenyum.        

 

MEMBANTU MASYARAKAT SETEMPAT

Tidak selamanya usaha itu berjalan dengan mulus terjadi menimpa bisnis batiknya, akibat wabah Covid-19 yang sudah berjalan setahun lamanya. Awal terjadi pandemi sales Batik Karakatoa sempat benar-benar drop. “Jika sebelum pandemi tadinya dalam  seminggu ada tamu datang hampir tiap hari, tiba-tiba langsung tidak ada. Kurang lebih sebulan kita masih mampu bertahan, karena saya selalu spare uang untuk gaji dan membeli bahan baku. Saya pun tidak tahu sampai kapan kebijakan ini bisa dipertahankan. Sementara, pembatik di daerah Solo, Cirebon, Pekalongan, dan lain-lain sistem pembayaran di sana sifatnya memang borongan. Di Cilegon sendiri polanya lebih gaji bulanan dan mereka tidak peduli batik terjual atau tidak, pokoknya setiap bulan gajian,” lanjut Hany menerangkan.

 

Berawal dari niat membuka usaha batik untuk membantu masyarakat Cilegon yang ibu-ibunya banyak memiliki anak putus sekolah, Hany pun berusaha mempertahankan bisnisnya di tengah krisis. Karena krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 terus berkepanjangan dan agar outlet maupun sanggarnya tidak tutup, kemudian dia mengambil inisiatif mengubah sistem pengajian menjadi borongan, karena kondisi keuangan semakin menipis. “Namun, syukurlah situasi sudah mulai stabil kembali sekarang. Setiap ada koleksi baru kami selalu bersemangat memanfaatkan pemasaran secara digital seperti intagram, FB, dan WA. Cara promosi dari mulut ke mulut juga tetap dilakukan, pokoknya berbagai cara dilakukan, agar tali silaturahmi tetap terjalin baik itu klien lama maupun baru,” ungkap perempuan yang memulai bisnisnya ini sejak tahun 2014 ini.

 

Dia berterus terang selain di era pademi, masa sulit dalam membangun bisnisnya lebih pada tiga tahun pertama ketika memulainya. “Setiap mau tanggal gajian saya sempat kelabakan dan meminta masukan ke suami yang kebetulan background-nya adalah marketing. Dia menyarankan kalau bisnis kita masih baru, ada baiknya ketika teman-teman datang bagikan saja batiknya. Ya, hitung-hitung promosilah karena kita memang harus memperkenalkan karya kita terlebih dahulu kepada orang lain. Ternyata benar setelah berapa lama kemudian mereka kembali datang ke outlet dan membeli koleksi batik saya.” 

 

 

BATIK KHAS KEARIFAN LOKAL

Krakatoa sendiri menyasar pada batik tulis dan cap untuk kalangan menengah ke atas. Sebutan Krakatoa ini terinspirasi dari nama Gunung Krakatau yang terletak di Selat Sunda. Di mancanegara nama Gunung Krakatau dikenal dengan Krakatoa, agar mudah diingat akhirnya dipilihlah nama Krakatao. Hany beserta timnya selalu rajin menyosialisasikan perbedaan batik tulis dan cap kepada para tamu maupun pelanggannya. Karena masyarakat di kota Cilegon masih ada yang belum paham mengenai perbedaan kedua jenis batik tersebut.

 

Misi dan visi perempuan yang memiliki tiga anak ini sebenarnya lebih ke arah membuat corak dan motif batik tersendiri khas daerah setempat. Inspirasinya berangkat dari kearifan lokal dan kuliner khas Kota Cilegon. Dia memaparkan, “Seperti motif sate bandeng, debus, rampak bedug, gunung Krakatau, gipang, emping, landmark Cilegon, dan lain sebagainya. Batik Krakatoa sudah banyak diminati masyarakat kota Cilegon, karena mampu menciptakan produk-produk khas dengan menonjolkan sisi budaya dan tradisi setempat. Belakangan dihadirkan pula motif batik terbaru, yaitu Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan atau ASDP dengan corak khas kapal. Lalu, motif batik yang paling laris dibeli adalah Gunung Krakatau, debus, dan rampak bedug.”

 

 

Ditanya mengenai kendala produksi yang dihadapinya dalam bisnis ini adalah adanya keterbatasan tenaga kerja pembatik yang memiliki passion di bidang ini. Kebetulan Hany memiliki sahabat yang mempunyai usaha batik Betawi dan bersedia memfasilitasi guru dan bahan bakunya untuk belajar batik. “Di zaman sekarang memang tidak mudah mencari orang yang mau bekerja sebagai pembatik. Contohnya dari 50 orang yang diberikan pelatihan, tersaring 30 orang yang memiliki bakat dan tersisa 12 orang yang mau meneruskan pekerjaan ini. Sementara, untuk urusan pewarnaan, saya mengambil orang Cirebon untuk membantu kami,” ungkapnya dengan nada serius. Walaupun demikian, batik Krakatoa tetap berkomitmen akan terus meningkatkan kualitas produksinya dan memasarkan batik ini secara luas hingga ke berbagai daerah di Tanah Air dan mancanegara. Hany pun berharap hasil karya timnya bisa diapresiasi lebih banyak orang lagi, agar bisa turut meningkatkan perekonomian bangsa sekaligus mengembangkan kearifan lokal. Elly S | Foto: Fikar A