Roosalina Wulandari: Berdayakan Tetangga Tanggap KDRT

Konsultan PIKK Penerima Anugerah Ibu Ibukota Awards 2021

 

Berawal dari menggulir thread di Twitter tentang candaan terhadap korban perkosaan, Roosalina Wulandari merasa miris dengan ketidakpahaman masyarakat tentang isu kekerasan seksual. Bersama dengan beberapa teman, perempuan yang akrab disapa Wulan ini kemudian membentuk Lentera Sintas Indonesia (LSI). Sebuah komunitas yang didirikan untuk memberikan dukungan pemulihan kepada penyintas kekerasan seksual. Pada 2016, LSI mengadakan kampanye #mulaibicara yang mendapat perhatian publik.

 

Agar memiliki legalitas dan kekuatan hukum, komunitas lalu dikukuhkan menjadi yayasan. “Kami ingin teman-teman penyintas tahu bahwa kami serius mengerjakan hal ini. Sebagai institusi berbadan hukum kami akan berusaha memenuhi komitmen,” ujar Wulan. Salah satu kontribusi yayasan, di antaranya roadshow ke 78 sekolah ke SMP, SMA & SMK di Jakarta. Dibantu 150 tenaga relawan, LSI memberikan edukasi tentang pendidikan seks terhadap siswa baru.

 

BACA JUGA:

Sri Sintawati: Pengabdian Tanpa Batas

Fitriyah: Bergerak Untuk Masyarakat Sekitar

 

Dia mengungkapkan adanya resistensi, seperti anggapan pengajar bahwa edukasi pendidikan seks itu selalu berkaitan dengan aktivitas seksual. “Padahal yang kami sampaikan adalah tentang persetujuan, mengenai consent. Usia ABG biasanya baru mulai berpacaran, senang ada yang diakui sebagai ‘gandengan’. Perlu diingat bahwa pacaran itu bukan berarti semua paket all in. Pacaran itu konteksnya adalah sebuah latihan untuk bekerja sama dengan orang yang kita sukai atau mempunyai kedekatan emosional. Kemudian membina relasi sebelum akhirnya nanti setelah usianya cukup bisa melangkah ke jenjang lebih serius. Kami memperkenalkan batasan-batasan kepada mereka, bahwa mereka berhak menolak jika merasa tidak nyaman dengan permintaan pacar mereka,” papar ibu dua anak ini.

 

Selain edukasi, LSI menawarkan dukungan dalam bentuk pendampingan psikososial, karena tidak sedikit para penyintas yang mengalami peristiwa kekerasan seksual bertahun-tahun atau bahkan belasan tahun lalu, sehingga sulit untuk diproses secara hukum. Tetapi setiap individu tetap berhak atas pemulihan, seperti pemulihan secara psikologis.

 

Kampanyekan #MulaiBicara

 

“Kami menawarkan support system atau dukungan psikososial dari sesama teman penyintas, agar mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian,” terang perempuan yang berprofesi sebagai pengajar di Binus University International ini. Dia juga menyinggung budaya victim blaming yang masih sangat kuat di negara ini. Sering kali korban perkosaan malah disalahkan, karena berpakaian tidak pantas, beraktivitas sampai larut malam, dan lain sebagainya. Padahal, tindak kekerasan merupakan kesalahan pelaku, bukan korban.

 

Belum lama ini, Wulan menggagas ruang aman di lingkungan RW dengan konsep ‘Tetangga Bantu Tetangga’ yang mengganjarnya dengan anugerah Ibu Ibukota Awards 2021 di bidang Kesehatan. Inisiatif dicetuskannya bermula dari melihat betapa minimalnya infrastruktur yang bisa dijangkau masyarakat yang menghadapi masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tak ingin tinggal diam menunggu pemerintah dan mencoba menjadi solusi, dia berusaha fokus pada satu hal itu dulu. Selama ini mekanisme yang harus dilakukan korban adalah lapor polisi, ditempatkan di shelter pemerintah, dan seterusnya.

 

BACA JUGA:

Bertemu Kembali 62 Sosok Penggerak Jakarta

Ibu Ibukota Awards 2021 Umumkan 21 Sosok Penggerak Literasi Jakarta

 

Menurutnya, kita bisa memberdayakan masyarakat sekitar untuk menjadi support system yang bersedia memberikan pendampingan. Dia mencontohkan, “Jika kita mengalami KDRT, kira-kira lebih nyaman langsung lapor ke kantor polisi atau lari ke rumah tetangga? Rumah tetangga adalah properti pribadi, jika memaksa masuk berarti melanggar secara hukum. Inisiatif inilah yang saya coba perkenalkan, konsepnya sederhana tetangga bantu tetangga.” 

 

Lebih lanjut Wulan menjelaskan kita bahkan tidak harus mempunyai kamar khusus, cukup tempat untuk tidur satu malam. Kemudian ada tetangga yang bersedia menjadi sopir siaga, apabila harus mengantar ke puskesmas, ke rumah sakit atau ke polisi. Jadi tidak ada alasan untuk tidak mengembangkan infrastruktur yang sifatnya organik berbasis masyarakat.

 

Wulan dalam diskusi buku Perempuan & Sinema

 

Kemudian Wulan pun mengembangkan hotline sederhana dengan menggunakan layanan chat, seperti Whatsapp. “Program ini saya rancang  dengan modal nekat. Saya mencoba meminimalkannya sebisa mungkin biaya yang harus dikeluarkan, supaya mudah direplikasi di mana pun, tidak peduli kelas sosial ekonomi mana pun. Masalahnya hanya mau atau tidak,” ujar kandidat doktor di bidang psikologi Universitas Indonesia ini.

 

Gayung bersambut, Fery Farhati selaku penggagas Ibu Ibukota Awards kemudian menyambut baik inisiatif Wulan dan sempat mengundang tim PKK DKI untuk berdiskusi. Harapan Wulan ke depannya adalah bisa terus mendapatkan dukungan untuk mereplikasi ide ini di banyak tempat, karena hampir tidak mengeluarkan biaya apa pun. 

 

Mewakili LSI berbicara di Rektorat Unpad

 

Dalam waktu dekat dia merencanakan akan melakukan training bagi warga yang bersedia menjadi konselor dari tiap RW di kelurahan tempatnya tinggal. Mereka akan dilatih konseling dasar, pertolongan pertama psikologis, dan pelatihan untuk pendampingan kasus berbasis hukum. Berkolaborasi dengan LBH APIK, para konselor akan dibekali pengetahuan dalam memberikan pendampingan. 

 

“Jika sampai harus menemani BAP mereka sudah siap secara mental, tahu apa yang akan dihadapi, dan kemungkinan berhadapan dengan intimidasi tertentu. Sehingga, mereka tidak terlihat panik di depan tetangga atau teman yang sedang didampingi,” tutup Wulan.