Melie Indarto: Berdayakan Komunitas Lokal

Founder & Director Kain Indonesia (KaIND)

 

Berawal dari sebuah komunitas kecil di Desa Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur, Melie Indarto berhasil membangun Kain Indonesia (KaIND) sebagai UMKM beromset cukup besar. Terdiri dari anak-anak muda dengan berbagai latar belakang, tanpa basic sama sekali di bidang menenun atau membatik dan kini terdapat sekitar 25 orang yang menjadi motor penggerak bisnis yang fokus pada sustainability ini.

 

Tantangan dalam menyamakan visi dan misi bukan hal yang mudah dilalui pada tahun-tahun pertama berdiri. Begitu pula dalam menjawab keresahan-keresahan yang dialami perempuan yang lahir dan besar di Pasuruan ini. 

 

BACA JUGA:

Stephanie Sicilia: Teknologi Mempermudah Kehidupan Manusia

Elly Kohardjo: Bekerja Sepenuh Hati & Meraih Kesuksesan

 

Kekhawatiran terbesarnya ketika itu adalah kurangnya regenerasi para pembatik dan penenun Pasuruan. Anak-anak muda kehilangan minat untuk melestarikan budaya yang diwariskan turun-temurun. Dalam 20 tahun terakhir jumlah penenun di Pasuruan telah berkurang sampai 90%. Dia gelisah skill itu akan hilang jika tidak dilestarikan. Belum tuntas dengan keresahan tersebut, muncul kegalauan lainnya mengenai nasib para pembudidaya ulat sutra yang ditemuinya. 

 

“Saya ingat pernah dibawa kedua orangtua berkunjung ke sebuah rumah sutra. Core memory saat melihat ribuan ulat sutra yang diternakkan itu masih tersimpan. Saat dewasa saya ingin berkunjung lagi ke rumah sutra tersebut, ternyata sudah gulung tikar. Dari situ saya baru tahu ternyata ada permasalahan-permasalahan seperti ini dalam dunia tekstil di Indonesia. Kita belum mampu mempunyai kemandirian serat sutra. Sekitar 95% serat sutra yang digunakan dalam industri dalam negeri masih diimpor dari luar. Jadi, bisa dibilang kita lumpuh,” ujarnya.

 

 

Kembangkan Bisnis Berkelanjutan

Kegelisahan Melie terhadap masa depan para petani ulat sutra muncul dari fakta bahwa negeri kita menyediakan segala macam jenis pakan yang dibutuhkan. Menurutnya kita tinggal memikirkan bagaimana bisa menciptakan sistem dengan man power yang tepat dan berbudidaya secara etis, supaya kita tetap menjaga keharmonisan dengan lingkungan. Sayangnya tidak banyak yang melirik potensi ini untuk dikembangkan lebih jauh. 

 

“Saya melihat budidaya sutra eri di Pasuruan ini bisa menjadi solusi nasional. Dengan menerapkan prinsip ethical farming, kita juga mampu membudidayakan sutra eri secara etis, yaitu tanpa membunuh pupa di dalam kepompong. Jadi pupa tetap hidup dan bisa bermetamorfosis sempurna. Dari dua hal yang kami lakukan di Pasuruan ini semoga tantangan-tantangan lokal maupun nasional bisa terjawab pelan-pelan,” ungkapnya dengan bersemangat saat membicarakan tentang praktik-praktik produksi ramah lingkungan.

 

BACA JUGA:

Niken Prawesti: Kembangkan Lifestyle Hospitality

Maya Kamdani: Berpacu Bangun Investasi Berkelanjutan

 

Melie merasa seolah dirinya dituntun semesta, dari satu perjumpaan dengan seorang pembatik dia bertemu orang-orang lain yang makin membuatnya yakin dengan pilihannya. Hingga dia bertemu dengan petani sutra yang sedang berjuang untuk berbudidaya sutra eri di Purwodadi. Dia melihat mereka memang belum mengarah ke artisanal product.

 

Di situlah peran Kaind untuk pelan-pelan, step by step, mengarahkan hasil panen maupun teknik budidaya mereka. Sampai akhirnya benang mereka bisa ditenun menjadi kain yang bisa menjadi busana. Pendampingan KaIND kemudian mendorong lahirnya satu wadah koperasi bernama koperasi Kupu Sutera. 

 

 

“Pendampingan juga kami lakukan dari segi perluasan market. Misalkan, KaIND ada pameran di Jakarta, kami akan membawa perwakilan dari koperasi Kupu Sutera untuk hadir, sehingga bisa memperkenalkan wadah dan petani mereka, agar marketnya bisa terbuka lebih luas lagi,” kata anak kedua dari tiga bersaudara ini. (Nur A | Foto: Edwin B) 

 

Baca artikel selengkapnya di e-magazine Women's Obsession Edisi 96.